KOPI ATENG
Memasuki daerah Ronggurnihuta daerah pemukiman leluhur saya yang letaknya sekitar 15 kilometer dari Pangururan (tepian Danau Toba), perjalanan saya disungguhi
kebun-kebun kopi yang sedang berbuah. Cukup buat tercengang melihat perubahan
yang ada mengingat dimasa SMAl sekitar 6 tahun
yang lalu itu . Waktu itu sepanjang jalan ini hanya ditumbuhi
pohon-pohon besar dan jalan ber aspal rusak yang jauh dari perhatian pemkab samosir, tidak berbeda dengan sekarang kendaraan umum sangat merasa tersiksa ketika melewati daerah ini, namun yang berbeda adalah pepohonan dan semak belukar yang dulunya tidak difungsikan masyarakat sekarang sudah menjadi kebun-kebun kopi yang dapat menghasilkan rupiah.
Adalah si Kopi Ateng yang
membuat kampung muasal saya ini bergeliat. Disebut Kopi Ateng karena
pohon kopinya yang pendek-pendek tapi mampu berbuah lebat dan dipanen cepat.
Petani lokal menggunakan istilah “Ateng” mungkin teringat dengan pelawak
terkenal yang bertubuh pendek itu.
Kopi ini mampu
meningkatkan perekonomian penduduk lokal di daerah ini tidak mengherankan kalau bertani kopi ateng adalah sumbet utama masyarakat di kecamatan ronggurnihuta dan sekitarnya. Kopi Ateng sendiri
adalah subvarietas kopi Arabica yang menghasilkan bijih kopi baik (ketimbang
kopi Robusta),
namun berbuah banyak
layaknya kopi Robusta serta dipanen lebih cepat yaitu kurang lebih 2 tahun
sejak dibibit dibandingkan jenis Arabica murni yang harus menunggu 3 - 4 tahun.
Cepatnya masa panen tersebut menyebabkan para penduduk lokal menyebut kopi ini
adalah Kopi Sigarar Utang (bahasa batak), yang artinya kopi
untuk membayar utang. Petani tak perlu lagi meminjam uang untuk modal usaha
ataupun sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari kepada koperasi ataupun rentenir
(pada masa menunggu panen) karena panen Kopi Ateng yang cepat ini mampu segera
memenuhi kebutuhan para petani, bahkan dipakai untuk membayar utang (yang
pernah ada). Itu sebabnya, banyak ladang-ladang kemiri, bawang, cabe dan
lain-lain dialih fungsikan menjadi kebun-kebun Kopi Ateng .
Masa produktif Kopi Ateng
sendiri mencapai 10 tahun, sedangkan untuk periode panen petani dapat
memungutnya sekali dalam 2 minggu. Jadi petani bisa menjual hasil panennya 2X
sebulan dengan harga Rp 15.000-Rp 20.000 per kg. Harga ini jauh lebih
tinggi jika kopi sudah kering. Berdasarkan penghitungan kasar penduduk lokal,
hasil obrologi kami, lahan 0,5 (setengah) Hektar saja dapat menghasilkan kopi
200 kg (16 kaleng kopi/bulan). Nah dengan begitu si petani bisa mendapatkan Rp
3 juta - 4 juta. Gak heran kan mereka berlomba untuk menanam si Kopi
Ateng. Akan tetapi masyarakat juga akan lebih menikmati hasil pertanian apabila ada perhatian dari pemerintah kabupaten daerah samosir dalam hal pemasaran, sehingga petani tidak tergantung dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak setidaknya pemerintah mempunyai solusi bidang pemasaran dan sarana lalulintas seperti jalan raya yang layak dilalui oleh kendaraan umum.
|
tun..ai gabbarni kopinta nai barungbuungi di...?
BalasHapusido,ai abang ito do i?
BalasHapus